Surat Pdt. Em. Dr. Eka Dharmaputra
Pada bulan Maret 2005, sewaktu Pdt. Em. Dr. Eka Darmaputra sedang sakit parah (kanker hati), beliau menulis sebuah surat yang berisi pelajaran yang indah mengenai sikap Kristiani dalam menghadapi kematian.
Pada tanggal 29 Juni 2005 beliau dipanggil pulang Bapa di Surga,
—————————————-
“Rekan-rekan sepelayanan, kawan-kawan seperjuangan, dan saudara-saudaraku seiman, yang saya kasihi dengan segenap hati!”
Terpujilah Tuhan, yang telah berkenan mengantarkan saya melalui perjuangan panjang, kurang lebih 21 tahun lamanya! Selama 21 tahun itu, saya akui, saya tidaklah seperkasa singa, sekuat gajah, atau setegar baja. Saya adalah “darah” dan “daging”, manusia “biasa-biasa” saja, yang sekadar berusaha untuk setia kepada Tuhannya.
Tidak jarang, 21 tahun itu saya lalui dengan amarah, cemas, dan rasa terluka di jiwa. Namun demikian, pada saat yang sama, tahun-tahun tersebut juga adalah tahun-tahun yang amat “kaya” dan limpah dengan rahmat dan berkat.
Saya disadarkan, betapa Tuhan yang saya ikuti tak selalu menyenangkan, tapi tak pernah Ia mengecewakan.
Mata rohani saya pun dicelikkan, untuk melihat betapa saya adalah orang yang sangat diberkati. Tuhan mengarunia saya dengan kekayaan yang luar biasa, berupa istri, anak dan menantu, yang maknanya tak tergantikan oleh apa pun juga.
Dan saya ditakjubkan serta amat diteguhkan oleh ribuan sahabat yang begitu peduli, memperhatikan dan menyayangi saya. Mereka terdiri dari segala bangsa, tinggal di pelbagai belahan dunia, penganut beraneka rupa agama, dan berasal dari beragam usia serta kedudukan sosial: dari seorang presiden Republik Jerman sampai seorang tukang parkir jalanan.
Kesimpulannya: apa lagi yang masih kurang? Apa lagi yang pantas saya tuntut?
Saudara-saudara sekalian, kini saya telah hampir tiba di penghujung jalan, berada di etape-etape akhir perjalanan hidup saya. Para dokter telah menyatakan, tak ada lagi tindakan medis yang signifikan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi kesehatan saya, kecuali – mungkin transplantasi hati.
Dalam situasi seperti itu, ketika tangan dan upaya manusia tak lagi mampu melakukan apa-apa yang bermakna, kita bersyukur karena bagi orang beriman selalu ada yang amat berarti yang dapat dilakukan. Dan itulah yang kita lakukan malam ini: BERDOA. Kita menyatakan penyerahan diri kita, seraya mempersilakan tangan-Nya bertindak dan kehendak-Nya berlaku dengan leluasa.
Dalam hubungan ini, perkenankanlah saya menceritakan sebuah kesaksian. Pada suatu ketika, sewakty “Iunch-break”, anak saya – Arya – yang berdiam dan bekerja di Sydney, diajak ngobrol oleh salah seorang rekan sekantornya, yang d**enal punya “indera keenam”. Tanpa “ba” atau “bu”, teman tersebut tiba-tiba bertanya, apakah ayah Arya adalah seorang pejabat atau seorang tokoh masyarakat. “0, tidak. Ayah saya seorang pendeta”, jawab Arya.
“Apakah ayah Anda sedang sakit?”, tanyanya pula. “Ya, sudah 20 tahun”, kata Arya. Kemudian terjadilah sesuatu yang mengejutkan, yang mendorong saya menceritakan kejadian ini. Orang itu – ia bukan “orang Kristen” berkata, “Ayah Anda itu seharusnya sudah lama “pergi”. Tapi masih bisa bertahan sampai sekarang, karena ada ribuan orang di seluruh dunia yang selalu berdoa baginya!”.
Melalui kisah ini saya ingin mengatakan, betapa berartinya yang kita lakukan malam ini! Sebab itu, tolong, jangan pernah Anda katakan, “Saya cuma bisa berdoa!” Doa itu, bukan “cuma”! Terima kasih dari lubuk hati terdalam saya, Evang, Arya dan Vera, kepada para rekan yang telah memprakarsai dan memfasilitasi acara petang ini. Pekerjaan sederhana ini, saya yakin, tidak sia-sia.
Namun demikian, ada permintaan saya. Bila anda berdoa untuk saya – baik di sini maupun di mana saja, saya mohon janganlah terutama memohon agar Tuhan memberi saya kesembuhan, atau mengaruniai saya usia panjang, atau mendatangkan mujizat dahsyat dari langit! Jangan! Biarlah tiga perkara tersebut menjadi wewenang dan “urusan” Tuhan sepenuhnya!
Saya Cuma mohon didoakan, agar sekiranya benar ini adalah tahap pelayanan saya yang terakhir, biarlah Tuhan berkenan memberikan saya dan keluarga keteguhan iman, kedamaian dan keikhlasan dalam jiwa. Semoga Tuhan berkenan menganugerahi saya perjalanan yang tenang, kalau boleh tanpa kesakitan dan tidak mahal biayanya, sampai saya tiba di pelabuhan tujuan. Dan kemudian, biarlah tangan Tuhan dengan setia terus tanpa putus menggandeng – bila perlu menggendong – Evang, Arya, Vera serta (mudah-mudahan) cucu-cucu saya melanjutkan perjalanan mereka.
Saudara-saudara sekalian, Paulus pernah menulis, “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia, bagiku itu berarti bekerja memberi buah, jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu” (Filipi 1:21). Itulah kerinduan saya. Segera bersama-sama dengan Kristus. Namun bila Ia masih menghendaki saya di dunia ini – entah lama, entah sebentar – doakanlah saya, agar itu dapat saya manfaatkan untuk bekerja memberi buah. Tidak berlama-Iama di pembaringan dan dalam kesakitan.
Demikianlah, saudara-saudara isi hati saya. Saya mengikuti persekutuan Saudara-saudara malam ini dengan terima kasih yang dalam dan keharuan yang sangat. Dan tolong jangan lupa berdoa pula bagi hamba-hamba-Nya yang kini juga tengah bergulat dengan penyakit, khususnya Andar Ismail dan Lydia Zakaria.
Terima kasih dari kami berempat.
Eka Darmaputra
—————————————-
baik, sangat baik
Very impressive! A new insight about prayer that encourages us to do more & more.
Saya belum pernah bertemu muka dgn Pak Eka, namun melalui tulisan beliau, saya lebih mengenal beliau daripada saya mengenal diri saya sendiri.
Inilah iman Kristen yang sebenarnya… Bukan iman kristen yang cengeng dan selalu mengagungkan mujizat…..